Kakek Memilih Hidup

Di sebuah gang sempit kakek ini melewati untuk menawarkan dagangannnya, merupakan jalur hapalan kakek karena ada pelanggan tetap diantara penghuni rumah dalam gang tersebut. Kakek biasa berkeliling pagi hari, tak lain sasarannya adalah orang-orang yang ingin sarapan dengan cepat yaitu dengan makan rotinya. Kakek berdagang demi makan istri dan cucunya. Cucunya lugu, baru, menginjak kelas 2 SD, sementara istrinya sebagai Ibu rumah tangga yang tak mampu lagi bekerja sewaktu muda. Praktis kakek adalah tulang punggung keluarga ini.

Dari pagi sampai sore kakek berkeliling menjual roti, padahal sewaktu muda kakek mampu berjualan sampai larut malam. Hal ini dilakukan karena anak-anaknya tak lagi ada kabar, sementara cucunya ini Ia temukan dipinggir jalan, walaupun kakek sadar kelak sang cucu akan menjadi beban yang sangat berat. Kakek selalu ingat pesan leluhurnya, "Sejahat-jahatnya kamu dimata orang, semiskin-miskinnya jangan biarkan sekali-kali seorang bayi sendirian terlantar kelaparan."

Bertahun-tahun kakek menjual roti, tak terhitung berapa jam yang dihabiskan untuk berdagang, tak terhitung berapa tetesan keringat yang sudah menetes, semua itu hanya untuk makan istri dan cucunya. Selama kakek sakit, selagi kakek masi mampu berjalan, berbicara, mengayuh gerobak rotinya, kakek tak ada niat untuk tidak berdagang. Kehidupan kakek adalah gambaran kecil penderitaan, kakek mati-matian untuk makan bukan karena malas, sewaktu muda kakek adalah seorang buruh pabrik, penghasilannya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari karena kakek muda waktu itu memiliki dua anak yang tinggal dikontrakan bersamanya.

Kakek muda tindak pernah ingin menjadi seorang buruh pabrik, tapi bagaimana mungkin kakek tidak bekerja, kakek hanya lulusan SD yang berharap sekolah tinggi biar menjadi doker kelak. Impian itu tak pernah terjadi, orang tuanya dulu tak mampu membiayai sekolahnya. Selagi muda kakek sudah ditinggal orang tuanya yang telah wafat, menjadi pilihan satu-satunyalah sebagai seorang buruh pabrik untuk terus melanjutkan hidupnya.

Kedua anaknya sudah menikah, berkeluarga, lalu pergi tanpa kabar. Tak pikir panjang kakek menjual roti, sekarang kakek mempunyai kewajiban membesarkan cucunya, menafkahi istrinya. Bagi kakek tak penting hidup mewah luar biasa, yang terpenting keluarganya sekarang ini bisa makan tiap harinya, lunas kontrakan rumahnya, tak perlu ngutang bayar air dan listrik. Ketika sakit berharap dapat dirawat dengan baik, diterima apa adanya tanpa pandang bulu. Untuk cucunya, kakek berharap sang cucu bisa sekolah tinggi dan tak pernah melupakan keluarga.


Suatu hari kakek sedih, cucunya tak bisa ikut acara rekreasi disekolahnya. Cucunya marah, kakek mewajarkan hal itu, kakek sangat tidak menyangka ada beberapa pelanggan tidak membeli roti dagangannya. Bagi kakek satu saja pelanggang yang tidak membeli rotinya akan mengubah menu makan istri cucunya, mengurangi jatah jajan cucunya, mengurangi uang belanja istrinya,
mengurangi uang yang akan dibayar untuk melunasi utang.

Apadaya, kakek harus berusaha membuat cucunya mengerti dengan kondisi ini, walau tak henti kakek menyalahkan diri sendiri karena tak mampu membayar acara rekreasi disekolah cucunya. Kakek merasa terkikis hatinya, mendengar ocehan sang cucu iri dengan temen-temannya yang ikut rekreasi. Sesaat kakek berucap; "Kalau saja hidup ini bisa memilih, saya tidak akan memilih hidup seperti ini. Kalau saja hidup ini bisa memilih, saya akan memilih hidup yang bisa membuat cucu saya pergi rekreasi bersama teman-temannya."

Komentar

Posting Komentar