Tukang Sol Sepatu dan Rasa Saling Berbagi

Ilustrasi tukang sol sepatu (istimewa)
Sepatu Lono soak setelah dia gunakan buat bermain sepakbola di lingkungan rumahnya, hari Sabtu itu membuatnya bertanya kepada temannya perihal biaya perbaikan sepatunya, Dadin menjawab sekitar Rp 25.000 untuk sepasang sepatu.

Namun, Lono tidak mempertanyakan lebih lanjut mengenai harga tersebut, sebab yang dipikirkan dia, sudah pasti uang yang harus dikeluarkan bakal lebih murah mengingat hanya sepatu sebelah kanannya yang butuh perbaikan.

Tiga minggu kemudian, penantian Lono akhirnya terjawab sudah, tukang sol sepatu lewat depan rumahnya, dan ternyata Ibunya juga menunggu keberadaan si tukang, lekas Ibu Lono memanggil, tas selempang sudah ditenteng, dan Lono sekaligus menambah “pasien” untuk si tukang, sepasang sepatu pemberian abangnya yang lama dibiarkan dalam rak.

Lono lalu bertanya berapa harga yang harus dibayar untuk perbaikan-perbaikan sepatu dan tas, si tukang mengatakan Rp. 50.000 saja, lekas diambilnya uang, saat akan menuju si tukang, Ibu Lono menghadang.

Ternyata, harga tadi akan ditawar menjadi Rp. 30.000. Lono terkejut, dalam pikirannya bertanya bagaimana mungkin? Akhirnya uang diberikan begitu saja pada Ibunya. Lantas, sepatunya kian “sehat” meski tidak seperti awal saat ia gunakan.

Beberapa hari setelahnya, Lono bertemu dengan Dadin, dia menjelaskan kepadanya kalau biaya perbaikan sepatu-sepatu itu dan tas Ibunya Rp 50.000, tapi Dadin menaggapinya serupa dengan Ibu Lono, menurut Dadin semestinya bisa ditawar Rp. 30.000 saja. Lono terkejut. Sejenak dia memikirkan fenomena ini, bagi Lono tawar menawar memang lumrah, namun dirinya merasa apakah pantas biaya jasa untuk seorang tukang sol sepatu masih di tawar? Kendati dirinya atau Dadin tidak akan jatuh miskin jika mengeluarkan uang Rp. 50.000.

Dadin pun heran melihat Lono sesaat melamun, ditegurlah Lono, apa gerangan yang membuatnya demikian? Lono menjelaskan bahwa ia sedang memikirkan perihal tawar-menawar terhadap tukang sol sepatu kala itu. Dadin merasa hal tersebut lucu, sementara bagi Lono ini patut dipertimbangkan.

Pertanyaan akhirnya dilontarkan Lono kepada Dadin, kenapa biaya jasa sol sepatunya mesti ditawar? Dadin menjawab, menurutnya poin pertama yang harus dipegang, proses tawar menawar itu wajar, tujuannya untuk menekan pengeluaran. Selanjutnya, tukang sol sepatu tidak menggunakan teknologi canggih yang membutuhkan modal jumbo, jadi dipikirnya dengan menawar bukanlah masalah.

Sekarang giliran Lono memberikan tanggapan, ketika tukang sol sepatu dihimpun oleh korporasi besar, dicantumkan daftar-daftar harganya, ada iklannya di dunia maya, atau bahkan dibuat sebuah inovasi seperti kejadian pada ojek, masihkan terjadi proses tawar menawar? Kendati demikian bukan ini yang mau ditekankan Lono.

Ingat, lanjutnya, butuh waktu berminggu-minggu sampai tukang sol sepatu hadir, artinya mereka adalah jasa yang cukup langka. Lono menegaskan, dirinya bahkan tak pernah melihat tukang sol sepatu yang terbilang muda, bayangkan orangtua masih mau keliling-keliling menawarkan jasa yang konsumennya tidak bisa diprediksi.

Lono menambahkan, tidak banyak orang yang memiliki kemampuan seperti tukang sol sepatu, bagaimana jika kehadirannya telah punah? Mungkin konsumen akan berpaling ke reparasi-reparasi sepatu yang telah memiliki “bengkelnya” sendiri, dan ingat, biaya bisa jadi lebih mahal, belum lagi butuh waktu dan ongkos untuk kesana.

Dadin memotong, sebenarnya apa inti yang ingin disampaikan Lono, bukankah persoalan ini hal yang sepele? Tidak, dengan tegas Lono menjawab. Ini bukanlah persoalan yang patut ditanggapi remeh-temeh, bagi Lono ini mengenai sudut pandang manusia terhadap keberadaan tukang sol sepatu yang mulai menua, dengan bayaran yang tak seberapa, pelanggan yang tak menentu, dan perjuangan mereka untuk menyambung hidup.

Lono mengungkapkan perasaannya, bukankah kita yang tak akan bangkrut tanpa menawar biaya jasa dari tukang sol sepatu itu seharusnya berniat berbagi rezeki kepadanya? Lalu apa yang membuat kita merasa rugi ketika tidak menawar jasanya? Dadin pun cukup heran dengan pemikiran si Lono.

Dadin penasaran, ia bertanya, apakah kawannya itu merasa kasihan dengan kondisi si tukang sol sepatu yang telah memperbaiki sepatunya beserta tas ibunya? Namun, lagi-lagi apa yang diungkapkan Lono tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Dengan lantang Lono menjawab, dirinya tidak menaruh rasa kasihan kepada tukang sol sepatu tersebut, dirinya berpendapat, si tukang pada dasarnya tidak membutuhkan rasa kasihan, sebab itu adalah penghinaan bagi si tukang. Justru yang dibutuhkannya adalah hidup layak.

Oleh karena itu, Lono berasumsi, tidak menawar harga jasa si tukang merupakan apresiasi atas perjuangan yang sedang dijalankan oleh si tukang, dia juga berharap, hal itu bisa memberikan dorongan kepadanya agar tetap semangat untuk terus berjuang dalam kehidupannya.

Dadin mengutarakan pertanyaan terakhir, sebenarnya apa yang sedang Lono pikirkan mengenai hal ini, meski ia sedikit mengerti sikap Lono yang demikian, layaknya seorang manusia yang sedang memposisikan diri sebagai manusia lainnya, tapi menurutnya semua yang telah diuangkapkan Lono belum cukup kuat untuk diterima begitu saja.

Singkat cerita, Lono membeberkan apa yang ada dalam hatinya. Baginya, ketika melihat si tukang sol sepatu yang menua, ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah si tukang dalam kondisi sehat? Apakah keadaan ekonomi keluarganya mampu menghilangkan rasa lapar? Apakah rumah yang dihuni cukup nyaman? Bagaimana dengan istrinya? Anak-anaknya? Atau jangan-jangan si tukang hidup sebatang kara?

Mungkin, Dadin tak paham mengenai nilai-nilai yang dipegang oleh Lono, dan Lono juga tidak handal untuk menjelaskan apa buah pikirannya. Pada dasarnya, Lono hanya ingin mengingatkan, sepahit-pahitnya hidup yang dijalani, jangan pernah merasa rugi untuk saling berbagi, sebab itu merupakan kebahagiaan yang tak terkira.

Komentar

  1. Kalau saya pasti nawar, nawar basa basi aja... harga 50ribu,dah sesuai dengan jasa yang ditawarkan, kita tidak perlu beli sepatu baru, selama beberapa waktu...
    Jadi menawar dengan hati, kalau kita bisa memberi, berilah lebih. ..

    BalasHapus

Posting Komentar