Pemerintah Loyo Atasi Polusi Udara Membunuhmu!

Foto: Istimewa

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Rabu (02/5) lalu, merilis hasil studi mengenai polusi udara di dunia, haslinya cukup mengejutkan; 90 persen orang di planet Bumi menghirup udara yang mengandung tingkat polutan yang tinggi dan mampu membunuh tujuh juta orang setiap
tahunnya.

Laporan tersebut menjelaskan, mayoritas kematian karena buruknya kualitas udara terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, khususnya di Asia dan Afrika. Dalam sebuah peryataan, kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengutarakan bahwa polusi udara adalah ancaman bagi kita semua, namun orang-orang termiskin dan terpinggirkan justru menanggung beban yang paling berat.

Menurut Ghebreyesus, lebih dari 3 miliar orang yang didominasi perempuan dan anak-anak, masih mengirup asap mematikan dari penggunaan tungku dan bahan bakar yang mencemari rumah mereka setiap hari, mengingat polusi udara adalah 'kunci' yang bisa mengakibatkan stroke, kanker, paru-paru, penyakit jantung, dan infeksi pernapasan.

Bagaimana nasib Indonesia? Merujuk penelitian tersebut, ketimbang beberapa tahun lalu kualitas polusi udara di Indonesia secara umum sedikit membaik, tapi Dwi Sawung, Pakar Perkotaan dan Energi dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), menyatakan kepada DW, hal itu tidak mencerminkan kenyataan di lapangan, pada dasarnya sumber polutan tidak berkurang, hanya tampak menjinak karena faktor iklim dan cuaca.

Pemerintah, tambahnya, terbilang loyo dalam mengatasi persoalan polusi udara yang mengancam nyawa penduduk, kurang lebih hanya terdapat 50 stasiun pemantauan kualitas udara yang berbasis parameter PM10, DKI Jakarta sendiri menggunakan empat parameter serupa.

Dwi menerangkan, PM10 cuma mampu mencatat volume konsentarasi partikel berukuran kecil dari 10 mikrometer seperti debu halus atau serbuk sari, namun partikel halus berukuran PM2.5 yang sangat berbahaya bagi tubuh justru kurang diperhatikan, yang biasanya dihasilkan oleh gas buang kendaraan bermotor atau pembangkit listrik. Artinya, ketiadaan data yang akurat mempersulit upaya mengatasi dampak polusi udara.

Sementara itu, rancangan revisi Baku Mutu Emisi (BME) Pembangkit Listrik Batu Bara yang digagas Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) dianggap tidak layak untuk masyarakat, menurut Walhi dalam siaran persnya awal tahun 2018.

Selanjutnya, BME saat ini masih menggunakan ketetapan tahun 1999, padahal ada banyak temuan patikel berbahaya baru yang belum masuk peraturan tersebut. Seharusnya setiap lima tahun pemerintah merevisi BME untuk mengadopsi perkembangan sains dalam menanggulangi persoalan lingkungan.

Jangan tunggu udara jadi racun untuk membersihkannya, memandang sebelah mata dampak polusi udara hanya akan mewariskan malapetaka bagi keberlangsungan hidup manusia. Udara bersih adalah satu faktor penting kebahagiaan di Bumi.[]

Komentar