Mati Kelaparan Bukan Peristiwa Besar

Ilustrasi Mati Kelaparan (news18.com)
Korbi baru menyadari, bahkan di saat kondisi pandemi virus corona (COVID-19) ada yang harus meninggal, bukan karena terjangkit COVID-19, namun, disebabkan oleh kelaparan. Lalu, Korbi pun bertanya kepada Juma: apakah kamu bisa membayangkan atau merasakan bagaimana pedihnya menahan lapar hingga mati?

Juma linglung sesaat, lalu bertanya balik, kenapa Korbi bertanya demikian, apa yang sebenarnya dia pikirkan, lantas Korbi pun menjawab singkat, itu karena dia belum pernah mengalaminya, bahkan memperkirakan hal yang begitu, juga tidak masuk akal menurutnya, tapi hal ini terjadi.

Korbi menegaskan kalau dirinya butuh jawaban dari Juma, seperti apapun yang keluar dari mulutnya, dia berharap bisa mengerti walau cuma sedikit. Dan akhirnya, temannya (Juma) merespons, dia menyatakan “mati karena lapar tidak bisa saya bayangkan Kor, itu terdengar amat pedih, saya tak sanggup untuk memikirkannya lama-lama."

“Apa kita salah Jum membiarkan orang lain mati karena lapar, bukankah itu mengerikan? Sampai hari ini ada orang yang mati kelaparan? Bagaimana mungkin? Teknologi telah berkembang pesat untuk kemajuan zaman,” tanya Korbi.

Mungkin, papar Juma, itu disebabkan kita terlahir serba ada, sejak kecil hingga sekarang kita tidak pernah putus persediaan makanan, lapar terjadi terkadang disengaja, sebatas malas buat mengunyah sesuatu, jadi kita tidak mengerti, atau bisa jadi selama ini kita tidak peduli.

“Kita salah? Saya tidak bisa menjawab itu. Tapi, yang pasti berbagai hal terjadi di dunia ini, dan manusia punya keterbatasan untuk memahaminya secara keseluruhan. Ada hal-hal dalam hidup yang tidak bisa dielak, contohnya mati. Semua manusia pasti mati.”

Lebih lanjut, Juma berkata, jika suatu hal tidak terjadi bagi semua orang, mungkin bisa dipertanyakan apa penyebabnya, dan kemungkinan besar ada yang salah dari jalannya suatu sistem kehidupan, baik di negara kita atau dunia ini. Inilah yang disebut sebagai ketimpangan sosial. Di mana ada orang punya segudang makanan, namun di sisi lain ada yang tidak bisa makan, sampai mati malahan.

Sekarang saya jadi teringat dengan ucapan kawan saya Kor. Seperti apa itu Jum? Sanggah Korbi. Kurang lebih dia bicara kayak begini: Dulu, orang bekerja dan memperoleh makanan, namun sekarang orang-orang bekerja untuk memperoleh uang, celakanya uang itu terkadang tidak cukup untuk makan.

“Hal itu mencerminkan, ada distribusi pangan, atau segala hal lainnya, yang tidak merata. Artinya, terdapat kelompok yang dominan, mereka punya kuasa atas sebaran itu. Misalnya, tidak semua orang sanggup makan nasi tiga kali sehari, kenapa? Entah karena harganya tidak terjangkau atau pasakonnya tidak mencukupi. Lalu kenapa tidak mencukupi? Produksinya mungkin tergannggu, seperti lahannya kurang, disulap jadi gedung atau apapun itu.”

Kemudian, apa hubungannya dengan yang kau sebut kelompok dominan? Korbi bertanya kembali. Kasus mudahnya, tanggap Juma, mereka yang mendominasi ini punya modal untuk membeli lahan, tidak jarang secara paksa, bagaimana caranya? Kongkalingkong dengan penguasa setempat.

Akibatnya, banyak lahan pertanian beganti rupa, terbentuklah “lingkaran setan” di sana, sebuah budaya yang memberikan akses seluas-luasnya bagi yang memiliki modal untuk berbuat sesukanya, demi satu hal: profit. Kegilaan akan profit ini menjalar kemana-mana, ada orang yang mati kelaparan bukan lagi peristiwa besar yang menyayat hati kita.

Perkembangan teknologi tidak mengarah untuk menopang kehidupan manusia, tapi untuk diperdagangkan, lagi-lagi demi keuntungan, tanpa ada uang kita tidak bisa merasakan sensasi teknologi, tanpa bekerja kita tidak dapat uang, apalagi untuk makan. Kondisi ini, sepintas bukan perkara besar lagi, tidak ada yang mendidik publik untuk punya sikap bahwa itu kondisi mengkhawatirkan, ditambah porsi informasi kebanyakan sekadar sensasi.

Tentu, ini bukanlah kondisi kehidupan yang ideal Kor, kelompok dominan telah menciptakan neraka bagi orang-orang yang tak punya modal, tapi ingat kor, bukan berarti mereka yang tidak punya modal tertutup kesempatannya untuk mewujudkan surganya di dunia.

Itukah yang dimaksud dengan dunia di bawah kangkangan sistem yang kapitalistik Jum? Tanya Korbi. Benar Kor, kapitalisme tidak memandang kita sebagai manusia, namun hanya alat, untuk mengeruk profit sebanyak-banyaknya, tanpa henti, bahkan ketika virus mematikan sudah memakan banyak korban.

“Selama manusia masih bisa bergerak, ia bakal diperas sampai mati. Kalaupun mati, bagian tubuhnya masih ada yang bergerak dan bisa digunakan untuk bekerja, itu akan dimanfaatkan sampai benar-benar hilang tanpa sisa.”

Komentar